Sunday, February 26, 2012

Diskriminasi Dalam Penataan Kota


Ruang Publik, sesuai definisinya yakni sebuah ruang yang terbuka dan terjangkau aksesibilitasnya setiap waktu, menurut situs wikipedia.org ,dan jika kita mempersepsikan ruang publik adalah gambaran dari jiwa warga kota, maka gambaran itu adalah keterasingan dan diskriminasi. Jelajahilah ruang-ruang publik di kota kita dan rasakanlah sekat-sekat yang akan memerangkap kita dalam kelas-kelas sosial.

Mari telusuri keberadaan ruang-ruang publik di kota kita tercinta, Semarang. Dari yang terdekat dari rumah saya yang berada dibilangan Sendangmulyo, Semarang Timur, masih terbilang lumayan baik karena masih terdapat lapangan-lapangan terbuka, namun yang memprihatinkan adalah semakin sedikit masyarakat menggunakannya untuk beraktifitas. Walhasil hanyalah sebuah tanah lapang yang dipandang para developer sebagai lahan kosong. Kompleks perumahanpun dibangun secara masif, dan telah mendesak gaya hidup menjadi kampung yang egaliter. Bahkan kini muncul konsep kluster, perumahan di dalam perumahan. Artinya penyekatan semakin mengecil. Masyarakat semakin nyaman hidup dalam keterasingan dengan dalih keamanan dan lingkungan pergaulan. Semakin banyak orang tua yang tak mengizinkan anak-anak mereka keluar rumah. Menyebabkan anak menjadi terpenjara. Dunia anak dan mungkin juga orangtuanya menjadi hanya sebatas pagar rumah masing-masing.

Dari ruang rumah yang memenjara, mari kita tengok ke sekolah. Kita tengok tren, sekali lagi di kota kita tercinta, Semarang, yakni semakin maraknya sekolah-sekolah internasional. Jaminan pendidikan yang berbasis internasional, jelas tersedia. Menjadikan anak-anak berwawasan global, itu sudah barang tentu, namun adakah rasa nasionalisme, kearfian lokal dan kepekaan sosial yang dipupuk didalamnya? Saya rasa tidak ada di sekolah yang notabene berbiaya selangit ini. Salah seorang kawan yang adiknya bersekolah di salah satu sekolah internasional terkemuka di Semarang menuturkan bahwa, tidak pernah diajarkan mata pelajaran Bahasa Jawa, dan pelaksanaan upacara bendera pun hanya setahun sekali, tepat saat peringatan kemerdekaan RI, pada tanggal 17 Agustus. Menyedihkan, sungguh.

Setelah sekolah, mari kita beranjak ke tempat yang acap kali menjadi ruang publik masyarakat Semarang, apalagi kalau bukan pusat perbelanjaan atau Mall. Semakin menjamurnya pusat perbelanjaan memang secara makro menjadi indikator pesatnya pertumbuhan ekonomi kota, namun juga menjadi sebuah fenomena, semakin terkotak-kotaknya kehidupan kaum berada dan kaum tidak mampu. Coba anda datangi pusat-pusat perbelanjaan terkemuka di kota ini , saya yakin, tidak akan dijumpai masyarakat dari kalangan menengah kebawah. Ini kan ruang publik baru? Aksesibilitasnya kan mudah? Oh jelas, namun pernahkah anda membayangkan bahwasannya mereka di ruang itu hanyalah sebagai saksi, tanpa bisa menikmati, geliat pertumbuhan ekonomi kota besar? Itulah yang terjadi, lama-lama mereka jenuh dan dengan sendirinya akan menghindari datang ke tempat dimana setiap orang merelakan dirinya untuk dimonopoli oleh brand-brand terkemuka, tanpa ada kemampuan sebagai price maker.

Ulasan di harian Kompas menyebutkan, ketiadaan ruang publik yang menjembatani pertemuan antarkelas sosial menyebabkan masyarakat tumbuh dalam dunia yang menyempit. Mereka hanya bersinggungan dengan dunia dari kelas berbeda melalui dunia maya, seperti melalui film atau tayangan televisi, atau paling banter melalui jendela kaca mobil saat menyaksikan anak-anak yang meminta-minta di lampu merah. Tentu saja, nuansa yang tertangkap akan sangat berbeda.

Mereka melihat kemiskinan dan kekumuhan hanya sebagai sesuatu yang patut dihilangkan, tetapi abai terhadap akar masalah kesenjangan, yaitu minimnya celah transformasi ekonomi dan sosial. Semua ini, bisa jadi, bermuara pada tiadanya ruang publik untuk berinteraksi secara manusiawi dengan sesamanya.

Masyarakat kota Semarang telah lama rindu memiliki pilihan ruang publik yang beragam. Masyarakat rindu memiliki taman Makam Dowo yang kini telah berubah menjadi kawasan perumahan elite dibilangan Siranda. Rindu menikmati panorama Semarang dari kawasan Gombel secara cuma-cuma, melalui taman yang ada disekitaran tugu Tabanas yang kini telah berubah menjadi tempat hiburan yang untuk menikmatinya kita harus merogoh kocek terlebih dahulu. Wahai Bapak Walikota, sungguh kami rindu.


Wednesday, February 22, 2012

Daripada Melawan, Alangkah Baiknya Menyesuaikan

Semarang itu “stuck”! Semarang itu “gak berkembang”! Semarang itu “ngene2 wae”!

Hampir seluruh “cah semarang” dari latar belakang berbeda yang berkumpul dan berdiskusi terkait keberlanjutan dari gerakanSemarang Obah atau yg biasa dikenal melalui tagar di twitter #SMGobah memiliki pandangan yang sama atas kota yang berjuluk kota ATLAS ini. Bermacam komunitas dan profesi mulai dari komunitas musik, komunitas online dan organisasi independen, berkumpul menjadi satu di Buket Koffee Jazz di bilangan Tembalang, Semarang, bersama-sama membulatkan tekad untuk berkontribusi pada kota Se Kota Semarang yang masih menghadapi problematika krisis identitas, menjadikan masyarakatnya apatis, bahkan cenderung tidak bangga menjadi seorang penduduk Semarang.

“Kota Semarang itu sejak pendiriannya telah di set sebagai kota niaga, mana ada orang asli Semarang, semuanya pendatang yang mengadu nasib di kota ini”, ujar Mas Gatot, aktivis penggiat musik Jazz kota Semarang. “Itulah akhirnya yang membuat budaya bahkan kuliner yang ada di kota ini itu merupakan bentuk akulturasi dari berbagai budaya”, sambung pria yang memiliki nama lengkap Gatot Hendraputra ini. Menjadi sebuah kota yang dilatarbelakangi motif niaga menjadikan masyarakat yang ada memiliki sikap segala aktivitas yang mereka lakukan atau mereka dukung haruslah memiliki keuntungan yang kembali kepada pribadi mereka masing-masing. Untungnya buat saya itu apa? Itulah salah satu sikap yang dimiliki oleh masyarakat dari kota niaga, yang umumnya berada di kawasan pesisir. Lain halnya dengan kota-kota di kawasan tengah yang berlatar agraris dengan konsep “mangan ora mangan penting kumpul” nya, mereka secara solidaritas kebudayaan lebih kuat.

Melawan kultur yang telah mengakar itu bukan perkara mudah. Mustahil bisa merubah sesuatu yang telah menjadi cirri khas/ watak. Maka dari itu melalui gerakan #SMGobah, diharapkan kultur yang memang selalu sibuk dengan urusannya masing-masing ini, yang kini implementasinya adalah bermunculannya beragam komunitas, hendaknya didasari oleh keinginan untuk mengangkat potensi yang dimiliki oleh Semarang. Saling mendukung dan meramaikan satu sama yang lain, merupakan suatu wujud nyata yang sederhana untuk membuat kota ini lebih berwarna. Namun, menurut Mas Yudi, salah satu penggiat komunitas online di kota Semarang, untuk melangkah diperlukan sebuah upaya yang simple namun terkadang berat sesuai dengan pernyataan, “diperlukan sebuah kerendahan hati, dan menyingkirkan prasangka-prasangka buruk yang ada”. Selamat melangkah dan bersinergi para pemuda!

Monday, February 20, 2012

#SMGobah! Semarang, Kota Niaga yang Beridentitas


Senin dini hari, sekitar pukul 01.00 WIB, saya terbangun dan menemukan tagar #SemarangObah yang berarti dalam bahasa Indonesia, Semarang Bergerak ini menghiasi kolom interaksi twitter saya. Selidik punya selidik ternyata tagar ini diawali oleh tweet dari teman saya yang notabene juga senior saya jaman SD, mas Khaleed (twitter: @khaleed_hp) , dan postingannya itu seperti ini

@gondrongg beberapa waktu lalu pernah ngobrol2 sama MG (I guess it must be Mas Gatot Hendraputra) , Semarang butuh wadah dan identitas. Yuk sedikit demi sedikit bikin #SemarangObah 
Pencarian pun berlanjut sembari membalas postingan2 yang mengajak saya kedalam pergerakan ini dan akhirnya, saya paham, apa maksud dari tagar #SemarangObah ini . Intinya mengkoneksikan komunitas, penggiat, dan juga pemuda yang peduli buat kemajuan semarang. Sebagai ajang silaturahmi, hal simpelnya itu begini, saling dateng ke acara komunitas sebagai bentuk dukungan. Tapi tanpa memaksa. Kalo dalam bahasa jawanya, “Nek lego lan teko, syukur alhamdulillah. Nek lagi ora iso, yo rakpopo” ( Kalo senggang datang, syukur alhamdulillah, jika sedang berhalangan ya tak apa).Intinya sebagai rangsangan buat pemuda Semarang untuk bisa lebih memajukan semarang. Meng apresiasi karya pemudanya yang ingin memberikan kontribusi kepada kota Semarang yang tercinta ini.


Sejauh ini #SemarangObah masih bentuk pemikiran dan akan lebih dibentuk olen beberapa pemuda kota Semarang, tapi ga menutup kemungkinan yang lain kalo pengen berkontribusi juga, bagaimanapun arah suatu kota itu ditentukan oleh para pemudanya bukan? Kalo kata si penggiat gerakan Indonesia Berkebun, Pak Ridwan Kamil, Pmuda itu bisa memberi pengaruh besar ke lingkungan kalau bersatu, se visi, dan searah. Dalam konteks #SemarangObah ini, sudah barang tentu didasari oleh “cinta kota Semarang”.


Bayangkan saja, jikalau pemuda di kota semarang ini dikoneksikan (notabene: mereka punya peran masing2) pasti bisa lebih blow up kota ini dan menstimulasi pemuda-pemuda yang lain untuk berkreasi. Kita ambil contoh, bayangkanlah jika pemuda dengan perannya masing-masing dan mereka memiliki peran sbb,
1. Si A yang punya jaringan luas dengan perusahan sponsor
2. Si B yang punya kepiawaian melobi pihak pemerintah buat dukung acara
3. Si C yang punya keahlian entertaint (StandUpComedy, Band, MC)
4. Si D yang punya kahlian dibidang social media, dan paling jago bikin media buzzer
5. Si E yang punya network ke media
Dan akhirnya suatu saat ada yg punya ide, dan konsep unik tentang sebuah event. Nah karena sudah saling kenal, walhasil satu sama lain saling dukung, well pastinya bakalan terjalin sinergi dan semuanya jadi lebih mantap bukan? Balik lagi, ini semua awalnya dari silaturahmi yang tadi itu, “saling dateng ke acdara komunitas sebagai bentuk dukungan” .

Apresiasi atau jadi wadah itu urusan nanti, biar kita lihat perkembangan dulu. Anak-anaknya punya respon positif atau skeptis (Mari kita rubah paradigma orang Semarang yang apatis yuk ;) ) . Ini akan jadi pengaruh postif ke kota ini, saya yakin. Well, Its up to them? To be or not to be. Lets support this movement!

Beberapa penampakan #SemarangObah di linimasa

"yang penting semua bisa satu padu,berkumpul bersama,mempunyai visi yang semua untuk #SemarangObah" by: @wisdamilky

"Samboedi adl seorang drummer kenamaan yg pd akhirny pulang ke Semarang krn saking cintanya beliau dgn kota ini. #SemarangObah " by: @hingaar

"@khaleed_hp @gondrongg pengen gitu suatu saat ada satu festival bersama dari berbagai komunitas dengan tajuk #SemarangObah " by: @wonderkid31

photos: YouthTalk! and Jazz Sore-Sore Event